WALI SONGO

Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan
dengan nama Raden
Umar Said atau Raden
Said. Menurut beberapa
riwayat, dia adalah
putra dari Sunan Kalijaga
yang menikah dengan
Dewi Soejinah, putri
Sunan Ngudung.
Nama Sunan Muria
sendiri diperkirakan
berasal dari nama
gunung (Gunung Muria),
yang terletak di sebelah
utara kota Kudus, Jawa
Tengah, tempat dia
dimakamkan.

WALI SONGO

Sunan Kudus
Sunan Kudus dilahirkan
dengan nama Jaffar
Shadiq. Dia adalah putra
dari pasangan Sunan
Ngudung, adalah
panglima perang
Kesultanan Demak
Bintoro, dan Syarifah,
adik dari Sunan Bonang.
Sunan Kudus
diperkirakan wafat
pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah
menjabat sebagai
panglima perang untuk
Kesultanan Demak, dan
dalam masa
pemerintahan Sunan
Prawoto, dia menjadi
penasihat bagi Arya
Penangsang. Selain
sebagai panglima
perang untuk
Kesultanan Demak,
Sunan Kudus juga
menjabat sebagai
hakim pengadilan bagi
Kesultanan Demak.
Dalam melakukan
dakwah penyebaran
Islam di Kudus, Sunan
Kudus menggunakan
sapi sebagai sarana
penarik masyarakat
untuk datang untuk
mendengarkan
dakwahnya. Sunan
Kudus juga membangun
Menara Kudus yang
merupakan gabungan
kebudayaan Islam dan
Hindu yang juga
terdapat Masjid yang
disebut Masjid Menara
Kudus.
Pada tahun 1530, Sunan
Kudus mendirikan
sebuah mesjid di desa
Kerjasan, Kudus Kulon,
yang kini terkenal
dengan nama Masjid
Agung Kudus dan masih
bertahan hingga
sekarang. Sekarang
Masjid Agung Kudus
berada di alun-alun kota
Kudus, Jawa
Tengah.Peninggalan lain
dari Sunan Kudus adalah
permintaannya kepada
masyarakat untuk tidak
memotong hewan
kurban sapi dalam
perayaan Idul Adha
untuk menghormati
masyarakat penganut
agama Hindu dengan
mengganti kurban sapi
dengan memotong
kurban kerbau, pesan
untuk memotong
kurban kerbau ini masih
banyak ditaati oleh
masyarakat Kudus
hingga saat ini.

WALI SONGO

Sunan Kalijaga
Raden.Mas Syahid atau
yang kemudian dikenal
dengan sebutan Sunan
Kalijaga., adalah putera
dari Ki Tumenggung
Wilatika, bupati Tuban,
ada pula yang
mengatakan, bahwa
nama lengkap ayah
Sunan Kalijaga adalah
Raden Sabur
Tumenggung Wilatika,
dikatakan dalam
riwayat, bahwa dalam
perkawinannya dengan
Dewi Saroh Binti
Maulana Ishak, Sunan
Kalijaga juga
memperoleh 3 orang
putera, masing-
masing : .R. Umar Said
(Sunan Muria), Dewi
Rakayuh dan Dewi
Sofiah.
Diantara para Wali
Sembilan, beliau
terkenal sebagai
seorang wali yang
berjiwa besar, seorang
pemimpin, mubaligh,
pujangga dan filosofi.
daerah operasinya tidak
terbatas, oleh karena
itu beliau adalah
terhitung seorang
mubaligh keliling
(reizendle mubaligh).
jikalau beliau bertabligh,
senantiasa diikuti oleh
pada kaum ningrat dan
sarjana.
Kaum bangsawan dan
cendekiawan amat
simpatik kepada beliau.
karena caranya beliau
menyiarkan agama
islam yang disesuaikan
dengan aliran jaman,
Sunan Kalijaga adalah
adalah seorang wali
yang kritis, banyak
toleransi dan
pergaulannya dan
berpandangan jauh
serta berperasaan
dalam. Semasa
hidupnya, sunan kalijaga
terhitung seorang wali
yang ternama serta
disegani beliau terkenal
sebagai seorang
pujangga yang
berinisiatif mengaran
cerita-cerita wayang
yang disesuaikan
dengan ajaran Islam
dengan lain perkataan,
dalam cerita-cerita
wayang itu
dimaksudkan sebanyak
mungkin unsur-unsur
ke-Islam-an,. hal ini
dilakukan karena
pertimbangan bahwa
masyarakat di Jawa
pada waktu itu masih
tebal kepercayaannya
terhadap
Hinduisme dan
Buddhisme, atau
tegasnya Syiwa Budha,
ataupun dengan kata
lain, masyarakat masih
memagang teguh
tradisi-tradisi atau adat
istiadat lama.
Diantaranya masih suka
kepada pertunjukan
wayang, gemar kepada
gamelan dan beberapa
cabang kesenian
lainnya, sebab-sebab
inilah yang mendorong
Sunan Kalijaga sebagai
salah seorang mubaligh
untuk memeras otak,
mengatur siasat, yaitu
menempuh jalan
mengawinkan adat
istiadat lama dengan
ajaran-ajaran Islam
assimilasi kebudayaan,
jalan dan cara mana
adalah berdasarkan
atas kebijaksanaan
para wali sembilan
dalam mengambangkan
Agama Islam di sini.
Sunan Kalijaga,
namanya hingga kini
masih tetap harum
serta dikenang oleh
seluruh lapisan
masyrakat dari yang
atas sampai yang
bawah. hal ini adalah
merupakan suatu bukti,
bahwa beliau itu benar-
benar manusia besar
jiwanya, dan besar pula
jasanya. sebagai
pujangga, telah banyak
mengarang berbagai
cerita yang
mengandung filsafat
serta berjiwa agama,
seni lukis yang
bernafaskan Islam, seni
suara yang berjiwakan
tauhid. disamping itu
pula beliau berjasa pula
bagi perkembangan dari
kehidupan wayang kulit
yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga adalah
pengarang dari kitab-
kitab cerita-cerita
wayang yang dramatis
serta diberi jiwa agama,
banyak cerita-cerita
yang dibuatnya yang
isinya menggambarkan
ethik ke-Islam-an,
kesusilaan dalam hidup
sepanjang tuntunan dan
ajaran Islam , hanya
diselipkan ke dalam
cerita kewayangan. oleh
karena Sunan Kalijaga
mengetahui, bahwa
pada waktu itu keadaan
masyarakat
menghendaki yang
sedemikian, maka
taktik perjuangan
beliaupun
disesuaikannya pula
dengan keadaan ruang
dan waktu.
Berhubung pada waktu
itu sedikit para pemeluk
agama syiwa budha
yang fanatik terhadap
ajaran agamanya, maka
akan berbahaya sekali
kiranya apabila dalam
memperkembangkan
agama islam
selanjutnya tidak
dilakukan dengan cara
yang bijaksana. para
wali termasuk
didalamnya Sunan
Kalijaga mengetahui
bahwa rakyat dari
kerajaan Majapahit
masih lekat sekali
kepada kesenian dan
kebudayaan mereka,
diantaranya masih
gemar kepada gemalan
dan keramaian-
keramaian yang
bersifat keagamaan
Syiwa-Budha.
Maka setelah diadakan
permusyawaratan para
wali, dapat
diketemukan suatu cara
yang lebih supel, dengan
maksud untuk meng-
Islam-kan orang-orang
yang belum masuk
Islam. cara itu
diketemukan oleh Sunan
Kalijaga, salah seorang
yang terkenal berjiwa
besar, dan
berpandangan
jauh,berfikiran tajam,
serta berasal dari suku
jawa asli. disamping itu
beliau juga ahli seni dan
faham pula akan
gamelan serta
gendinggending (lagu-
lagunya).
Maka dipesanlah oleh
Sunan Kalijaga kepada
ahli gamelan untuk
membuatkan serancak
gamelan, yang
kemudian diberinya
nama kyai sekati. hal itu
adalah dimaksudkan
untuk
memperkembangkan
Agama Islam.
Menurut adat kebiasaan
pada setiap tahun,
sesudan konperensi
besar para wali,
diserambi Masjid Demak
diadakan perayaan
Maulid Nabi yang
diramaikan dengan
rebana (Bhs. Jawa
Terbangan) menurut
irama seni arab. Hal ini
oleh Sunan Kalijaga
hendak disempurnakan
dengan pengertian
disesuaikan dengan
alam fikiran
masyarakat jawa.
maka gamelan yang
telah dipesan itupun
ditempatkan diatas
pagengan yaitu sebuah
tarub yang tempatnya
di depan halaman Masjid
Demak, dengan dihiasai
beraneka macam
bungan-bungaan yang
indah. gapura
mashidpun dihiasinya
pula, sehingga
banyaklah rakyat yang
tertarik untuk
berkunjung ke sana,
gamelan itupun
kemudian dipukulinya
betalu-talu dengan tiada
henti-hentinya.
Kemudian dimuka
gapura masjid, tampillah
ke depan podium
bergantian para wali
memberikan wejangan-
wejangan serta
nasehat-nasehatnya
uraian-uraiannya
diberikan dengan gaya
bahasa yang sangat
menarik sehingga orang
yang mendengarkan
hatinya tertaik untuk
masuk ke dalam masjid
untuk mendekati
gamelan yang sedang
ditabuh, artinya
dibunyikan itu. dan
mereka diperbolehkan
masuk ke dalam masjid,
akan tetapi terlebih
dahulu harus mengambil
air wudlu di kolas masjid
melalui pintu gapura.
upacara yang demikian
ini mengandung
simbolik, yang diartikan
bahwa bagi barang
siapa yang telah
mengucapkan dua
kalimat syahadat
kemudian masuk ke
dalam masjid melalui
gapura (dari Bahasa
Arab Ghapura) maka
berarti bahwa segala
dosanya sudah
diampuni oleh Tuhan.
Sungguh besar jasa
Sunan Kalijaga terhadap
kesenian, tidak hanya
dalam lapangan seni
suara saja, akan tetapi
juga meliputi seni drama
(wayang kulit) seni
gamelan, seni lukis, seni
pakaian, seni ukir, seni
pahat. dan juga dalam
lapangan kesusastraan,
banyak corak batik oleh
sunan kalijaga (periode
demak) diberi motif
“burung” di dalam
beraneka macam.
sebagai gambar
ilustrasi, perwujudan
burung itu memanglah
sangat indahnya, akan
tetapi lebih indah lagi dia
sebagai riwayat
pendidikan dan
pengajaran budi pekerti.
di dalam bahasa kawi,
burung itu disebut
“kukila” dan kata
bahasa kawi ini jika
dalam bahasa arab
adalah dari rangkaian
kata : “quu” dan “qilla”
atau “quuqiila”, yang
artinya “peliharalah
ucapan (mulut)-mu.
Hal mana dimaksudkan
bahwa kain pakaian
yang bermotif kukila
atau burung itu
senantiasa
memperingatkan atau
mendidik dan mengajar
kepada kita, agar selalu
baik tutur katanya,
inilah diantaranya jasa
sunan kalijaga dalam hal
seni lukis. Dalam
hubungan ini dibuatnya
model baju kaum pria
yang diberinya nama
baju “takwo”, nama
tersebut berasal
berasal dari kata
bahasa arab “taqwa”
yang artinya ta’at serta
berbakti kepada Allah
SWT.
Nama yang simbolik
sifatnya ini,
dimaksudkan untuk
mendidik kita agar
supaya selalu cara hidup
dan kehidupan kita
sesuai dengan tuntunan
agama. Nama Kalijaga
menurut setengah
riwayat , dikatakan
berasal dari rangkaian
Bahasa Arab ‘ Qadli
Zaka, Qadli – artinya
pelaksana, penghulu :
sedangkan Zaka –
artinya membersihkan.
jadi Qodlizaka atau yang
kemudian menurut lidah
dan ejaan kita sekarang
berubah menjadi
Kalijaga itu artinya ialah
pelaksana atau
pemimpin yang
menegakkan kebersihan
(kesucian) dan
kebenaran agama
Islam.
Konon kabarnya Sunan
Kalijaga itu usianya
termasuk lanjut pula,
sehingga dalam masa
hidupnya, beliau antara
lain mengalami tiga kali
masa pemerintahan,
pertama jaman akhkh
Siti Jenar sesungguhnya
tak ada disini, yang ada
hanyalah Tuhan yang
Sejati.
ujarnya pula :
“Awit seh lemang bang
iku, wajahing pangeran
jati. nadyan sira
ngaturana, ing pangeran
kang sejati, lamun
Syekh Lemah Bang ora,
mansa kalakon yekti”
Artinya :
Oleh karena Syekh Siti
Jenar itu sesungguhnya
adalah wajah wujudnya
Tuhan sejati, meskipun
engkau menghadap
kepada Tuhan yang
sejati, manakala siti
jenar tidak,maka
tidaklah hal itu akan
terlaksana. pada waktu
Maulana Maghribi
memberi wejangan
bahwa yang disebut
Tuhan Allah Sejati itu
Wajibul Wujud (kang
aran Allah jatine, wajibul
wujud kang ana), maka
Syekh Siti Jenar pun
menjawablah, katanya :
“Aja ana kakehan semu,
iya ingsun iki Allah,
nyata ingsun kang
sejati, jejuluk Prabu
Satmata, tan ana liyan
jatine, ingkang aran
bangsa Allah”
Artinya : jangan
kebanyakan semu, saya
inilah Allah. saya
sebetulnya bernama
Prabu Satmata, dan
tiadalah yang lain
dengan nama
Ketuhanan. Oleh karena
segala ucapan-ucapan
dan ajaran-ajaran Syekh
Siti Jenar ini dipandang
sangt membahayakan
kepada rakyat, maka
akhirnya beliau pun
dihukum mati oleh para
wali. Jikalau kita ikuti
segala ucapan-ucapan
Siti Jenar tersebut di
atas, maka hal itu
mengingatkan kita
kepada ajaran-ajaran
dan ucapan-ucapan
salah seorang misticus
yang masyhur, yaitu Al
Hallaj (858-992).
sebagaimana diketahui,
Al Hallaj pernah berkata:
“Annal haqq” artinya :
“sayalah kebenaran
yang sejati itu”
kemudian katanya pula :
“wa’ma fi jubbati illa-
lah” artinya “dan tidak
ada yang dalam jubah ,
melainkan Allah”.
Disamping itu al hallaj
juga pernah
mengatakan :
“Telah bercampur
rahmu dalam rohku,
laksana bercampurnya
chamar dengan air jernih
bila menyentui akanmu
sesuatu, tersentuhlah
aku, sebab itu engkau
adalah aku”
Dalam segala hal
demikianlah pandangan
hidupnya. ucapan dan
ajarannya inilah yang
mengakibatkan dia
dihukum mati di atas
tiang gantungan, karena
dianggap berbahaya dan
menyesatkan oleh
pemerintah Bagdad.
kedua ahli mistik, baik
Al Hallaj maupun Syekh
Siti Jenar fahamnya
condong kepada ajaran
pantheisme, kesatuan
antara makhluk dengan
khalik Maha
Penciptanya. dan
keduanya pun
mengalami pula nasib
yang sama, karena
mereka harus menebus
keyakinan hidupnya
dengan hukuman mati.
Kemudian kita dapati
pula ucapan Siti Jenar
yang lain, yang tampak
isinya lebih
mengutamakan
hakekat daripada
syari’at, katanya :
“Sahadat salat puwasa
kawuri, apa dene jakat
lawan pitrah, ujar iku
dora kabehm nora kena
ginugu, Islam tetep
durjaning budi, ngapusi
kyehning titah, sinung
swarga besuke, wong
bodo kanur ulama, tur
nyatane pada bae ora
uning, beda syekh siti
jenar.”
Selanjutnya berkatalah
Syekh Siti Jenar :
“Tan mituhu salat
lawan dikir, jengkang-
jengking neng masjid
ting krembyah, nora
nana ganjarane, yen
wus ngapal batukmu,
sejatine tanpa
pinanggih, neng dunya
bae pada susah
amemikul, lara
sangsaya tan beda,
marma siti jenar mung
madep wajidi, gusti dat
roning kamal”.
Demikianlah antara lain
pandangan hidup serta
ajaran-ajaran dari Syekh
Siti Jenar. Dalam
riwayat dikatakan
bahwa murid Syekh Siti
Jenar adalah : Ki Ageng
Tingkir, Ki Ageng
Pengging, Pangeran
Panggung, Ki Lontang.
Menengok konflik Masa
Lalu
Biasanya, konflik yang
terjadi di kalangan
ulama -terutama ulama
jaman dahulu, lebih
banyak diakibatkan
karena persoalan
(rebutan pengaruh)
politik. Tidak hanya
terjadi pada era kiai-
ulama masa kini, tapi
sejak jaman Wali Songo-
pun, konflik seperti itu
pernah terjadi. Bahkan,
sejarah Islam telah
mencatat bahwa
jenazah Muhammad
Rasulullah SAW baru
dimakamkan tiga hari
setelah wafatnya,
dikarenakan para
sahabat justru sibuk
rebutan soal posisi
khalifah pengganti Nabi
(Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq
Muhammad Hamidi). Di
era Wali Songo –
kelompok ulama yang
“diklaim” oleh NU
sebagai nenek-
moyangnya dalam
perihal berdakwah dan
ajarannya, sejarah telah
mencatat pula
terjadinya konflik yang
“fenomenal” antara Wali
Songo (yang
mementingkan syari’at)
dengan kelompok Syekh
Siti Jenar (yang
mengutamakan
hakekat). Konflik itu
berakhir dengan fatwa
hukuman mati bagi
Syekh Siti Jenar dan
pengikutnya. Sejarah
juga mencatat bahwa
dalam persoalan politik,
Wali Songo yang oleh
masyarakat dikenal
sebagai kelompok
ulama penyebar agama
Islam di Nusantara yang
cukup solid dalam
berdakwah itu,
ternyata juga bisa
terpolarisasi ke dalam
tiga kutub politik; Giri
Kedaton (Sunan Giri, di
Gresik), Sunan Kalijaga
(Adilangu, Demak) dan
Sunan Kudus (Kudus).
Kutub-kutub politik itu
memiliki pertimbangan
dan alasan sendiri-
sendiri yang berbeda,
dan sangat sulit untuk
dicarikan titik temunya;
dalam sidang para wali
sekalipun. Terutama
perseteruan dari dua
nama yang terakhir, itu
sangat menarik. Karena
pertikaian kedua wali
tersebut dengan begitu
gamblangnya sempat
tercatat dalam literatur
sejarah klasik Jawa,
seperti: “Babad Demak”,
“Babad Tanah Djawi”,
“Serat Kandha”, dan
“Babad Meinsma”.
Lagi-lagi, konflik itu
diakibatkan karena
persoalan politik.
Perseteruan yang
terjadi antara para wali
itu bisa terjadi, bermula
setelah Sultan
Trenggono (raja ke-2
Demak) wafat. Giri
Kedaton yang beraliran
“Islam mutihan” (lebih
mengutamakan tauhid)
mendukung Sunan
Prawata dengan
pertimbangan
ke-‘alimannya.
Sementara Sunan Kudus
mendukung Aryo
Penangsang karena dia
merupakan pewaris sah
(putra tertua) dari
Pangeran Sekar Seda
Lepen (kakak
Trenggono) yang telah
dibunuh oleh Prawata
(anak Trenggono).
Sedangkan Sunan
Kalijaga (aliran tasawuf,
abangan) mendukung
Joko Tingkir
(Hadiwijaya), dengan
pertimbangan ia akan
mampu memunculkan
sebuah kerajaan
kebangsaan nusantara
yang akomodatif
terhadap budaya.
Sejarah juga mencatat,
konflik para wali itu
“lebih seru” bila
dibandingkan dengan
konflik ulama sekarang,
karena pertikaian
mereka sangat syarat
dengan intrik politik
yang kotor, seperti
menjurus pada
pembunuhan terhadap
lawan politik.
Penyebabnya tidak
semata karena
persoalan politik saja,
tapi di sana juga ada
hal-hal lain seperti:
pergesekan pengaruh
ideologi, hegemoni aliran
oleh para wali,
pengkhianatan murid
terhadap guru, dendam
guru terhadap murid,
dan sebagainya.
Bahkan, De Graaf,
seorang sejarawan
Jawa dari Belanda,
dengan begitu beraninya
menilai konflik di antara
para wali itu bukan
hanya masalah
hubungan antara guru
dan murid belaka. Bukan
pula harus selalu dilihat
dari segi spiritualnya,
tapi sekolah agama dari
para wali itu bisa juga
dilihat sebagai sebuah
konsentrasi politik. Para
wali yang terlibat
konflik itu
sesungguhnya tidak
membatasi diri pada
ajaran spiritual saja,
tetapi juga
memposisikan dirinya
sebagai ahli politik
sejati, yang (terlalu)
banyak ikut campur
tangan terhadap
persoalan negara.
Seperti misalnya,
seseorang yang menjadi
raja, berhak
menyandang gelar
“Sultan” bila telah
mendapatkan “restu”
dari Giri Kedaton. Model
pola hubungan ulama-
umara seperti ini yang
kemudian menjadi
benih-benih pertikaian di
antara wali sendiri.
Begitupun ketika pusat
pemerintahan pindah
dari Pajang ke Mataram.
Sunan Kudus “berbelok
arah” mendukung kubu
Demak (Aria Pangiri,
putra Sunan Prawata
[kubu yang sebelumnya
dilenyapkan Arya
Penangsang, jagoan
Sunan Kudus]) untuk
menguasai Pajang,
mengusir Pangeran
Benawa (putra Sultan
Hadiwijaya). Sementara
Sunan Kalijaga
mendukung keturunan
Pamanahan (Ki Gede
Mataram) untuk
mendirikan kerajaan
baru yang bernama
Mataram.
Tidak hanya berhenti di
situ. Konflik politik para
wali itu terus berlanjut
hingga akhir hayat
mereka. Hingga anak
cucu generasi mereka
selanjutnya. Dan lebih
memprihatinkan lagi,
ketika Sunan
Amangkurat I (Raja
Mataram ke-5, putra
Sultan Agung
Hanyokrokusumo)
membantai secara keji
6000 ulama
ahlussunnah wal
jama’ah di alun-alun
Mataram, dengan
alasan “mengganggu
keamanan negara”. Ini
adalah sebagai bukti
adanya imbas yang
berkepanjangan dari
perseteruan ideologi
para wali di era
sebelumnya -di samping
juga karena faktor
politik yang lain. Dan,
gesekan-gesekan aliran
keagamaan (ideologi)
seperti itu, di kemudian
hari terus berlanjut,
seolah-olah telah
menjadi sebuah
“warisan” masa kini.
Penutup
Kedewasaan dalam
Berkonflik Jadi, konflik
politik di antara ulama/
kiai bukanlah
merupakan hal yang
baru, yang luar biasa,
karena kita bisa melihat
akar konflik seperti itu
sudah terjadi sejak
dahulu kala –tentu
dengan konteks yang
berbeda. Logikanya, di
jaman sahabat Nabi
SAW dan para wali saja
bisa terjadi, apalagi di
era kiai sekarang ini. Itu
adalah hal yang lumrah,
asal dilakukan secara
dewasa. Yang tidak
wajar, ketika konflik –
yang biasanya bersifat
pribadi ulama- tersebut
bersifat kekanak-
kanakan, yang sampai
harus mengorbankan
kepentingan umat dan
kemaslahatan
organisasi (NU). Yang
tidak dibenarkan, ketika
konflik pribadi itu
kemudian diseret
menjadi konflik yang
melibatkan umat,
sekaligus organisasi
dijadikan sebagai barang
taruhannya. Dan bila
sudah demikian, maka
selayaknya kita patut
meragukan otoritas
mereka sebagai ulama,
yang seyogyanya
menjadi suri-tauladan
bagi masyarakat.
Selebihnya,
wallaahu’alam bi ash
showab.

WALI SONGO

Sunan Gunung
Jati
Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah, lahir
sekitar 1450 M, namun
ada juga yang
mengatakan bahwa
beliau lahir pada sekitar
1448 M. Sunan Gunung
Jati adalah salah satu
dari kelompok ulama
besar di Jawa bernama
walisongo.

WALI SONGO

Sunan Giri
Sewaktu Sunan Ampel
masih hidup, di Gresik
ada pula seorang
penganjur agama yang
terkenal, namanya
Raden Paku, disebut
juga sebagai Prabu
Satmata, atau Sultan
Abdul Fakih, beliau
adalah putera Maulana
Ishak dari Blambangan
(di Jawa Timur).
Maulana Ishak
dikatakan dari
Blambangan, oleh
karena beliau
ditugaskan oleh Sunan
Ampel untuk
menyebarkan agama
Islam di daerah
Blambangan yang pada
masa itu masih kuat
memeluk agama Hindu
dan Budha. Berhubung
ayahnya ke pasai dan
tidak kembali lagi ke
tanah Jawa maka
Raden Paku kemudian
diambil sebagai putera
angkat oleh salah
seorang wanita kaya,
Nyi Gede Maloka
namanya. Kalau di babad
tanah jawa, disebut
Nyai Ageng Tandes
atau Nyai Ageng saja.
Sesudah beliau besar
disekolahkannya ke
Ampel untuk berguru
kepada Raden Rahmat
(Sunan Ampel). Di sana
Raden Paku bertemu
dengan Maulana
Makdum Ibrahim,
putera-putera Sunan
Ampel yang kemudian
bergelar Sunan Bonang.
Kemudian bersama-
sama dengan Maulana
Makdum Ibrahim, Raden
Paku oleh Sunan Ampel
di suruh pergi haji ke
Tanah Suci, sampai
memperdalam ilmunya.
Tetapi mereka sebelum
sampai di tanah suci
singgah terlebihdahulu di
Pasai (Aceh), untuk
menuntut ilmu kepada
para ulama disana.
Adapun yang imaksud
ilmu di sini, adalah ilmu
ke Tuhanan menurut
ajaran tasawuf. Konon
kabarnya memang
banyak ulama-ulama
keturunan India dan
Persia yang membuka
pengajian di pasai di
waktu itu. Bahkan
banyak pula ulama-
ulama dari Malaka juga
kadang-kadang datang
bertanya tentang
sesuatu masalah ke
Pasai. Sesudah kedua
tunas muda itu selesai
menuntut pelajaran di
sana, merekapun
kembalilah ke tanah
Jawa. Raden Paku
berhasil mendapat “Ilmu
Laduni”, sehingga
gurunya di pasai
memberinya nama
“Ainul Yaqin”.
Raden Paku
sekembalinya di tanah
Jawa mengajarkan
agama Islam menurut
bakatnya. Raden paku
atau Syekh Ainul Yaqin
mengadakan tempat
berkumpul yang boleh
disebut pondok
pesantrennya di Giri.
dimana murid-muridnya
terdiri pada orang-orang
kecil (rakyat jelata).
Sungguh amat besar
jasa Sunan Giri semasa
hidupnya, karena
beliaulah yang
mengirimkan utusan
(mission secree) keluar
Jawa. Mereka terdiri dari
pelajar, saudagar,
nelayan. Mereka dikirim
oleh Sunan Giri ke pulau
Madura. juga ke Bawean
dan Kangean, bahkan
sampai ke Ternate dam
Haruku di kepulauan
Maluku. Amat besar
pengaruh Sunan Giri
terhadap jalannya roda
pemerintahan di
kerajaan Islam Demak,
sehingga sesuatu soal
yang penting
senantiasa menantikan
sikap dan keputusan
yang diambil oleh Sunan
Giri. Oleh para wali
lainnya, beliau dihormati
serta disegani.
Pada waktu dahulu Giri
adalah menjadi sumber
ilmu keagamaan, dan
termasyhur diseluruh
tanah Jawa dan
sekelilingnya. Dari segala
penjuru, baik dari
kalangan atas maupun
kalangan bawah banyak
yang pergi ke Giri untuk
berguru kepada Sunan
Giri. Beliaulah kabarnya
yang menciptakan
gending Asmaradana
dan Pucung. Daeran
penyiarannya sampai ke
Sulawesi, Maluku, Nusa
Tenggara dan Madura,
menurut setengah
riwayat, Sunan Giri-lah
yang menghukum sesat
terhadap diri Syekh Siti
Jenar, karena
mengajarkan ilmu yang
berbahaya pada rakyat.
Sunan Giri adalah
terhitung seorang ahli
pendidik (pedagang)
yang berjiwa
demokratis. Beliau
mendidik anak-anak
dengan jalan membuat
bermacam-macam
permainan yang berjiwa
agama. seperti
misalnya : jelungan,
jamuran, gendi gerit, jor,
gula ganti, cublak-cublak
suweng, ilir-ilir dan
sebagainya.
Diantara permainan
kanak-kanak hasil
ciptaan/gubahannya
adalah rupa “jitungan”
atau “jelungan”. Adapun
caranya adalah begini :
Anak-anak banyak,
satu diantaranya
menjadi “pemburu”, lain-
lainnya jadi “buruan”
mereka ini akan
‘selamat’ atau ‘bebas’
dari terkaman
‘pemburunya’, apabila
telah berpegangan pada
‘jitungan’, yaitu satu
pohon, tiang atau
tonggak yang telah
ditentukan terlebih
dahulu.
Permainan dimaksudkan
untuk mendidik
pengertian tentang
keselamatan hidup,
yaitu : bahwa apabila
sudah berpegangan
kepada agama yang
berdasarkan ke
Tuhanan Yang Maha Esa
sajalah, maka manusia
(buruan) itu akan
selamat dari terkaman
iblis (pemburunya). Di
samping itu
diajarkannya pula
nyanyian-nyanyian
untuk kanak-kanak
yang bersifat
paedagogis serta
berjiwa agama, Di
antaranya adalah
berupa ‘tembung
dolanan bocah’ (lagu
permainan anak-anak),
yang berbunyi sebagai
berikut :
“Padang-padang bulan,
ayo gage da dolanan,
dolanane naning latar,
ngalap padang gilar-gilar,
nundang bagog
hangatikar”, yang dalam
bahasa indonesianya
kira-kira begini :
“Terang-terang bulan,
marilah lekas bermain,
bermain dihalaman,
mengambil manfaat
dari terang benderang,
mengusir gelap yang lari
terbirit-birit”.
Adapun maksud dari
tembang tersebut di
atas itu adalah : Agama
Islam (bulan) telah
datang memberi
penerangan hidup, maka
marilah segera orang
menuntut penghidupan
(dolanan, bermain) di
bumi ini (latar, halaman)
akan mengambil
manfaat ilmu agama
Islam (padang, gilar-
gilar, terang benderang)
itu, agar sesat
kebodohan diri (begog,
gelap) segera terusir.
Disamping itu terkenal
pula tembang buat
kanak-kanak yang
bernama “Ilir-ilir” yang
isinya mengandung
filsafat serte berjiwa
agama.Bunyi
selengkapnya adalah
demikian.
“Lir-ilir, lir ilir, tandure
wing angilir, sing ijo
royo-royo, tak sengguh
kemanten anyar. cah
angon, cah angon,
penekno blimbing kuwi,
lunyu-lunyu penekno
kanggo masuh dodotiro.
dodotiro-dodotiro,
kumitir bedah ing
pinggir, dondomana
jrumatana, kanggo sebo
mengko sore, mumpung
gede rembulane,
mumpung jembar
kalangane, ndak sorak
hore.”
Adapun maksudnya
adalah demikian : sang
bayi yang baru lahir di
dalam dunia ini masih
suci bersih, murni,
sehingga ibarat seperti
penganten baru, siapa
saja ingin
memandangnya, “bocah
angon” (pengembala) itu
diumpamakan santri,
mualim, artinya orang
yang menjalankan
syariat agama.
Sedangkan “blimbing”
diibaratkan blimbing itu
mempunyai/teridiri dari
lima belahannya,
maksudnya untuk
menjalankan
sembahyang lima
waktu. Meskipun “lunyu-
lunyu” (licin). tolong
panjatkan juga,
kendatipun
sembahyang itu susah,
namun kerjakanlah,
buat membasuh
“dodotira-dodotira,
kumitir bedah ing
pinggir” maksudnya
kendatipun sholat itu
susah, tetapi kerjakan
guna membasuh hati
dan jiwa kita yang kotor
ini. “Dondomono,
jrumatana, kanggo sebo
mengko sore, dan
surak-surak hore”.
Maksudnya ” bahwa
orang hidup di dalam
dunia ini senantiasa
condong kearah berbuat
dosam segan
mengerjakan yang baik
dan benar serta utama,
sehingga dengan
menjalankan sholat itu
diharapkan besuk
dikelak kemudian dapat
kita buat sebagai bekal
kita dalam menghadap
kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa, bekal itu
adalah beramal saleh.
Itulan diantara lain buah
ciptaan sunan giri.
Mengenai tembang
(lagu) ilir-ilir ini ada pula
yang berpendapat,
bahwa itu adalah
ciptaan sunan kalijaga.
Akan tetapi mengingat
bahwa diantara wali
sanga, sunan giri yang
terkenal sebagai
seorang pendidik yang
gemar menciptakan
lagu-lagu kanak-kanak
maka besar dugaan kita
bahwa lagu tersebut
adalah ciptaan beliau
juga. Jika tidak, yang
pasti adalah bahwa
tembang tersebut
adalah ciptaan pada
jaman wali. Apakah
benar ciptaan sunan
kalijaga atau gubahan
bersama dengan sunan
giri, itu adalah soal
secundair.
Sesudah beliau wafat,
kemudian dimakamkan
di atas bukit Giri
(Gresik). Setelah Sunan
Giri meninggal dunia,
berturut-turut
digantikan oleh Sunan
Delem, Sunan Sedam
Margi, Sunan Prapen.
Tatkala Sunan Prapen
pada tahun 1597 M,
wafat beliau digantikan
Sunan Kawis guna,
kemudian setelah Sunan
Guwa wafat diganti
oleh Panembahan
Agung. Pada tahun 1638
M Panembahan Agung
Giri diganti oleh
Panembahan Mas
Witana Sideng Rana,
beliau wafat pada
tahun 1660 M. kemudian
atas perintah Sunan
Amangkurat I, Pangern
Puspa Ira (Singonegoro)
ditempatkan di Giri.
mulai saat sunan
Amangkurat II
memegang kendali
pemerintahan, Giri
maupun Gresik
mengalami perubahan
yang tidak sedikit.
Akibat daripada
serangan Amangkurat
II yang dibantu oleh
kompeni akhirnya pada
tanggal 27 april 1680
jatuhlah kekuasaan
Pengeran Giri ke tangan
Amangkurat II.
Semenjak itu Giri
cahanya mulai pudar,
hanya tinggal kenang-
kenangan dalam sejarah
kebangunan Islam di
tanah Jawa.

WALI SONGO

Sunan Drajat
Syarifuddin atau yang
lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Drajat
adalah seorang putera
dari Sunan Ampel,
sebagaimana ayahnya,
maka puteranya inipun
kemudian menjadi
seorang penganjur pula
dalam agama Islam.
beliaupun ikut pula
mendirikan kerajaan
Islam di Demak dan
menjadi penyokongnya
yang setia. daerah
operasinya diantaranya
adalah di Jawa Timur,
Sunan Drajat adalah
seorang sosiawan
Islam.
Seorang waliullah yang
berjiwa sosial, dalam
menjalankan agama,
selalu beliau juga tidak
segan-segan pula
memberikan
pertolongan kepada
kesengsaraan umum,
seperti membela anak-
anak yatim piatu,
orang-orang sakit. para
fakir miskin, dan lain-
lain. Konon kabarnya
beliau, adalah pencipta
gending, pangkur,
apabila dikatakan
bahwa syarifoeddin
atau Sunan Drajat itu
mempunyai jiwa sosial
maka hal itu adalah
benar. karena pada
hakekatnya setiap
pribadi muslim itu
adalah juga seorang
sosialis. bukanlah
muslim namanya,
jikalau dia tidak berjiwa
sosial. sebab memang
demikianlah ajaran di
dalam agama Islam.
Jadi bilamana Sunan
Drajat memberi contoh
serta menganjurkan
kepada rakyat, agar
memiliki jiwa sosial
serta menganjurkan
agar supaya rakyat
suka menolong para
fakir dan miskin yang
sedang mengalami
penderitaan dan
kesempitan, maka hal
itu adalah sesuai
dengan tuntunan
agama.
Tidakkah Islam
mengajarkan kepada
kita. Bahwa apabila
disekitar tetangga kita
terdapat orang yang
kelaparan, maka
berdosalah kita semua.
jadi agama melarang
kita sendiri hidup dalam
lautan kenikmatan dan
kemewahan,
sedangkan lainnya hidup
dalam kesengsaraan
dan kemiskinan. karena
agama islam memang
tidak membenarkan
adanya individualisme
dan egoisme, melainkan
yang senantiasa
ditekankan oleh islam di
dalam sepanjang
ajaran-ajarannya ialah
rasa kolektivisme, hidup
didalam kerukunan
hidup dalam suasana
gotong royong, tolong
menolong, bahu
membahu, hidup dalam
persaudaraan. jauh
sebelum itu di barat
timbul semboyan
egalite dan fraternite,
maka islam telah
mengajarkan kepada
setiap pemeluknya
untuk menanamkan
rasa persaudaraan dan
kerukunan, tidakkah
Islam mengatakan,
bahwa sebaik-baiknya
manusia di dunia ini,
ialah manusia yang
bermanfaat bagi
sesamanya.
Demikian intisari dari
ajaran yang terkandung
di dalam Islam. dan
itulah yang
dipraktekkan oleh sunan
drajat semasa
hidupnya.

WALI SONGO

Sunan Bonang
Raden Maulana Makdum
Ibrahim, atau yang
kemudian dikenal
dengan sebutan Sunan
Bonang, adalah seorang
putera dari Sunan
Ampel.
Berbicara tentang Sunan
Bonang yang namanya
didepannya tercantum
kata-kata Maulana
Makdum, mengingatkan
kita kembali kepada
cerita di dalam sejarah
Melayu. Konon kabarnya
dalam sejarah Melayu
pun dahulu ada pula
tersebut tentang
cendekiawan islam yang
memakai gelar Makdum,
yaitu gelar yang lazim
dipakai di India. kata
atau gelar Makdum ini
merupakan sinonim
kata Maula atau Malauy
gelar kepada orang
besar agama berasal
dari kata Khodama
Yakhdamu dan
infinitifnya (masdarnya)
khidmat. dan maf’ulnya
dikatakan makhdum
artinya orang yang
harus dikhidmati atau
dihormati karena
kedudukannya dalam
agama atau
pemerintahan Islam di
waktu itu.
Salam seorang besar
yang mengepalai suatu
departemen ketika
terjadi pembentukan
adat yang berdasarkan
Islam, tatkala agama
Islam memasuki
lingkungan
Minangkabau,
berpangkat Makdum
pula.Rupanya Makhdum
atau Mubaligh Islam
yang berpangkat atau
bergelar Makhdum itu
data ke Malaka dalam
abad ke XV, ketika
Malaka mencapai
puncak kejayaannya.
kembali mengenai diri
Sunan Bonang
disamping beliau adalah
putera Sunan Ampel
juga menjadi muridnya
pula. adapun daerah
operasinya semasa
hidupnya adalah
terutama Jawa Timur.
Disanalah beliau mulai
berjuang menyebarkan
agama Islam.
Beliau adalah putera dari
Sunan Ampel dalam
perkawinannya dengan
Nyai Ageng Manila,
seorang putera dari
Arya Teja, salam
seorang Tumenggung
dari kerajaan Majapahit
yang berkuasa di Tuban.
menurut dugaan Sunan
Bonang dilahirkan dalam
tahun 1465 M, serta
wafat pada tahun 1525
M.
Maulana Makhdum
Ibrahim, semasa
hidupnya dengan gigih
giat sekali menyebarkan
agama Islam di daerah
Jawa Timur, terutama
di daerah Tuban dan
sekitarnya.
sebagaimana halnya
ayahnya, maka Sunan
Bonang pun mendirikan
pondok pesantran di
daerah Tuban untuk
mendidik serta
menggembleng kader-
kader Islam
yang akan ikut
menyiarkan agama
Islam ke seluruh tanah
Jawa. konon beliaulah
yang menciptakan
gending Dharma serta
berusaha mengganti
nama-nama hari nahas/
sial menurut
kepercayaan Hindu, dan
nama-nama dewa Hindu
diganti dengan nama-
nama malaikat serta
nabi-nabi. Hal mana
dimaksudkan untuk
lebih mendekati hari
rakyat guna diajak
masuk agama Islam.
Di masa hidupnya, beliau
juga termasuk
penyokong dari kerajaan
Islam Demak. serta ikut
pula membantu
mendirikan Masjid
Agung di kota Bintoro
Demak.
Adapun mengenai
filsafat Ketuhanannya,
adalah :
“Adapun pendirian saya
adalah, bahwa imam
tauhid dan makrifat itu
terdiri dari pengetahuan
yang sempurna,
sekiranya orang hanya
mengenal makrifat
saja, maka belumlah
cukup, sebab ia masih
insaf akan itu. Maksud
saya adalah bahwa
kesempurnaan barulah
akan tercapai hanya
dengan terus menerus
mengabdi kepada
Tuhan. Seseorang itu
tiada mempunyai
gerakan sendiri, begitu
pula tidak mempunyai
kemauan sendiri. dan
seseorang itu adalah
seumpama buta, tuli
dan bisu. Segala
gerakannya itu datang
dari Allah.”
Ada kitab yang disebut
Suluk Sunan Bonang
yang berbahasa prosa
Jawa Tengah-an, tetapi
isinya mengenai hal-hal
agama islam. di mana
kalimatnya agak
terpengaruh oleh
bahasa Arab. Besar
kemungkinan kita ini
adalah berisi kumpulan
atau himpunan catatan
dari pelajaran-pelajaran
yang pernah diberikan
oleh Sunan Bonang
semasa hidupnya
kepada murid-muridnya.
Di dalam dongeng-
dongeng
diceritakan,.bahwa pada
suatu ketika pernah ada
seorang pendita hindu
yang datang untuk
mengajak berdebat
dengan sunan bonang,
bahkan kemudian
pendeta hindu itupun
akhirnya bertaubat
serta menyatakan
dirinya masuk ke dalam
agama Islam.
Pada masa hidupnya
dikatakan bahwa Sunan
Bonang itu pernah
belajar ke Pasai.
Sekembalinya dari Pasai,
Sunan Bonang
memasukkan pengaruh
Islam ke dalam
kalangan bangsawan
dari keraton Majapahit,
serta mempergunakan
Demak sebagai tempat
berkumpul bagi para
murid-muridnya.
Sunan Bonang
perjuangannya
diarahkan kepada
menanamkan pengaruh
ke dalam. Siasat dari
Sunan Bonang adalah
memberikan didikan
Islam kepada Raden
Patah putera dari
Brawijaya V, dari
kerajaan Majapahit, dan
menyediakan Demak
sebagai tempat untuk
mendirikan negara
Islam. adalah tampak
bersifat politis dan
Sunan Bonang rupanya
berhasil cita-citanya
mendirikan kerajaan
Islam di Demak. Hanya
sayang sekali harapan
beliau agar supaya
Demak dapat menjadi
pusat agama Islam
untuk selama-
selamanya kiranya tidak
berhasil.

WALI SONGO

WALI SONGO “SUNAN AMPEL”

RADEN RAHMAT atau yang lebih dikenal dengan sebutan SUNAN AMPEL, adalah terkenal sebagai salah seorang
wali yang telah ikut pula menegakkan agama Islam, untuk memulai
usahanya, maka Raden Rahmat membuka
pondok pesantran di Ampeldenta di
Surabaya,di tempat
inilah hendak dididiknya
para pemuda-pemuda
islam sebagai kader yang terdidik, untuk
kemudian disebarkan
keberbagai tempat diseluruh pulai jawa.

Seperti kita ketahui Raden Paku yang
kemudian dikenal
dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang
kemudian menjadi
Sultan pertama dari kerajaan Islam di
Bintoro Demak, Raden Makdum Ibrahim
(puteranya sendiri) yang
belakangan dikenal dengan dengan sebutan
Sunan Bonang,
Syarifuddin (puteranya
sendiri) yang kemudian dikenal dengan sebutan
Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah
diutus ke daerah
Blambangan untuk meng-Islam-kan rakyat
disana.

Dan bukan menjadi
rahasia lagi, bahwa
Raden Rahmat atau
Sunan Ampel yang
menjadi perencana dari
kerajaan islam pertama
di jawa yang beribu
kota di Bintoro Demak,
dengan mengangkat
Raden Patah sebagai
Sultannya yang
pertama. Negara baru di
Demak itu adalah hasil
rencana dari Sunan
Ampel. Inilah jasa beliau
yang besar. Semasa
hidupnya beliau ikut pula
mendirikan Masjid
Agung demak yang
dibangun kira-kira pada
tahun Saka 1401 atau
kira-kira bertepatan
dengan tahun Masehi
1479.
Akan tetapi ada pula
yang berpendapat
bahwa berdirinya masjid
Demak adalah
berdasarkan
candrasengkala yang
berbunyi : “Kori Trus
Gunaning Janmi” yang
artinya adalah tahun
Saka 1399 atau
bertepatan dengan
tahun 1477 M.
Adapun berdirinya
kerajaan Bintoro Demak
bersengkala “Geni Mati
Siniram Janmi”, yang
artinya api mati disiram
orang.
Bagaimana pendapat
sunan ampel terhadap
berbagai masalah
kepercayaan dan adat
istiadat masyarakat
kiranya dapatlah kita
ketahui dari hasil pada
pemusyawaratan para
wali. Pada waktu Sunan
Kalijaga mengusulkan
agar adat istiadat Jawa
seperti selamatan,
bersesaji itu dimasuki
rasa ke-Islam-an, maka
sunan ampel pun
bertanyalah :
“Apakah tidak
mengkhawatirkan
dikemudian hari ?
bahwa adat isitadat
dan upacara upacara
lama itu nanti akan
dianggap sebagai ajaran
islam, sebab kalau
demikian nanti apakah
hal ini tidak akan
menjadikan bid’ah?”.
Pertanyaan sunan
ampel ini kemudian
dijawab oleh sunan
Kudus sbb :
“Saya setuju dengan
pendapatnya Sunan
Kalijaga, sebab menurut
pelajaran agama Budha
itu ada persamaannya
dengan ajaran Islam,
yaitu orang kaya harus
menolong kepada fakir
miskin. Adapun
mengenai kekhawatiran
tuan, saya mempunyai
keyakinan bahwa
dikemudian hari akan
ada orang Islam yang akan
menyempurnakannya”.
Raden Rakhmat
dilahirkan kira-kira
dalam tahun 1401 M, di
Champa, sebagai putera
dari raja Champa.
mengenai nama
Champa ini berselisih
para ahli sejarah. Kalau
menurut Encyclopedia
Van Nederlandesh Indie,
Champa ini suatu negeri kecil yang terletak di
Kamboja. akan tetapi Raffles, mengatakan
bahwa champa itu
bukan di kamboja,
tetapi terletak di Aceh
(Sumatera) yang
sekarang bernama : Jeumpa.
Hal ini besar
kemungkinan,
mengingat bahwa Aceh
dalam sejarah terkenal
sebagai daerah pertama
di Indonesia yang
memeluk agama Islam.
menurut riwayat
dikatakan, bahwa
Sunan Ampel adalah
putera dari Ibrahim
Asmarakandi yang
dikatakan berasal dari Champa dan menjadi raja di sana. kemudian
wafat pada tahun 1425 M, serta dimakamkan di
Tuban.

Sunan Ampel kemudian
kawin dengan putri Tuban bernama Nyai
Ageng Manila, dari
perkawinannya ini beliau
memperoleh 4 orang putra: Putri Nyai Ageng
Maloka, Maulana
Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang), Syarifuddin
(Sunan Drajat), Putri Istri Sunan Kalijaga.

Pada waktu kerajaan
Islam Demak berdiri,Sunan Ampel juga yang
mengangkat serta
menetapkan Raden Patah yang
berkedudukan di desa Glagah Wangi yang kemudian bertukar nama menjadi Bintoro
Demak, sebagai Sultan
pertama dengan gelar: Sultan Alam Akbar Al Fatah. Adapun kota
demak letaknya
disebelah selatan kota Kudus, jarak 25 km jauhnya. Itulah sedikit
mengenai diri dan
perjuangan Sunan
Ampel.

WALI SONGO

WALI SONGO” MAULANA MALIK IBRAHIM”

Dikenal juga dengan sebutan Maghribi atau Syekh Maghribi.

Meskipun beliau bukan asli orang Jawa, namun
beliau telah berjasa kepada masyarakat.
Karena beliaulah yang mula pertama
memasukkan islam ke tanah Jawa. Sehingga
berkat usaha dan
jasanya,penduduk
pulau jawa yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Buddha di kala itu, akhirnya mulai banyak memeluk agama Islam.

Adapun dari kalangan orang-orang Hindu,
hanya dari kasta-kasta Waisya dan Syudra yang
dapat di ajak memeluk agama Islam. Sedang
dari kasta-kasta
Brahmana dan Ksatria pada umumnya tidak
suka memeluk Islam,bahkan tidak sedikit dari
kalangan Brahmana yang lari sampai ke pulau Bali, serta menetap
disanalah mereka
akhirnya
mempertahankan diri hinggga sekarang, dan
agama mereka
kemudian dikenal
dengan sebutan agama Hindu Bali.
Apabila dikalangan kaum
Brahmana dan Ksatria tidak suka masuk agama Islam, hal itu
mudah dimengerti
karena bagi mereka tentunya agak berat untuk duduk sejajar
bersamasama dengan kaum Waisya dan
Syudra yang selama ini
mereka hina.

Sudah
barang tentu dengan adanya konsepsi Islam
yang radikal dan
revoulsioner dalam bidang sosial, sukar
sekali untuk diterima dengan kedua belah
tangan terbuka oleh mereka. Sebab bukankah mereka selama ini telah didewa-dewakan,tiba-tiba
turun tahta,duduk
sama rendah berdiri sama tinggi dengan bekas hamba sahaya
mereka, rakyat jelata yang selama ini telah
memuja serta
mendewa-dewakan
mereka.

Maulana Malik
Ibrahim mulai
menyiarkan agama Islam di tanah Jawa
didaerah Jawa Timur.
Dari sanalah dia
memulai
menyingsingkan lengan bajunya, berjuang untuk
mengembangkan
agama Islam.

Adapun caranya pertama-tama
ialah dengan jalan
mendekati pergaulan dengan anak negeri.
Dengan budi bahasa yang ramah tamah
serta ketinggian akhlak, sebagaimana diajarkan oleh Islam, hal itu senantiasa
diperlihatkannya
didalam pergaulan
sehari-hari. Beliau tidak menentang secara tajam kepada agama
dan kepercayaan hidup dari penduduk asli.

Begitu pula beliau tidak menentang secara spontan terhadap adat
istiadat yang ada serta berlaku dalam masyarakat kita yang masih memeluk agama
Hindu dan Buddha itu, melainkan beliau hanya
memperlihatkan
kaindahan dan
ketinggian ajaran-ajaran dan didikan yang dibawa oleh Islam. Berkat
keramah tamahannya
serta budi bahasa dan pergaulannya yang sopan santun itulah,
banyak anak negeri yang tertarik masuk ke
dalam agama Islam.

Untuk mempersiapkan
kader ummat yang terdidik bagi
melanjutkan perjuangan
guna menegakkan
ajaran-ajaran Islam di tanah air kita, maka dibukalah pesantren-pesantren
yang merupakan
perguruan Islam
tempat mendidik serta menggembleng para siswa sebagai calon
mubaligh Islam untuk masa depan. Bertambah
banyak orang yang masuk Islam,
bertambah berat pula tugas dan
pekerjaannya.

Tentu saja orang-orang itu tidak dibiarkan begitu
saja. Mereka harus diberi didikan dan
penerangan secukupnya
sehingga keimanannya
menjadi kuat dan
keyakinannya menjadi
kokoh. Di dalam usaha
yang sedemikian itu,beliau kemudian
menerima tawaran dari
raja negeri Cheermen,
raja Cheermen itu
sangat berhajat untuk
meng-Islam-kan raja Majapahit yang masih
beragama Hindu. Seperti
ternyata kemudian, dari
hasil didikannya
akhirnya tersebar
diseluruh penjuru tanah
air mubaligh-mubaligh
islam yang dengan tiada
jemu-jemunya
menyiarkan
ajaranajaran agamanya.

Dalam riwayat
dikatakan, bahwa
maulana maghribi itu adalah keturunan dari
Zainul Abidin Bin Hassan
Bin Ali ra, keterangan ini
menurut buku karangan
Sir Thomas Stamford
Raffles. Sebagaimana
diketahui, Stamford
Raffles (1781-1826)
adalah seorang ahli politik Inggris, serta bekas letnan Gubernur
Inggris ditanah Jawa dari tahun 1811-1816 M.

Adapun bukunya yang terkenal mengenai tanah Jawa adalah :
“History of Java” yang ditulisnya pada tahun
1817 M. Mengenai
filsafat Ketuhannya,
diantaranya Syekh Maulana Malik Ibrahim
pernah mengatakan
apakah yang
dinamakannya Allah itu ? ujarnya “Yang dinamakan Allah ialah
sesungguhnya yang diperlukan adanya,… ?
Menurut setengah
riwayat mengatakan,
bahwa beliau berasal dari Persia. Bahkan
dikatakan bahwa
Maulana Malik Ibrahim beripar dengan raja di
negeri Cheermen.

Mengenai letak negeri Cheermen itu terletak di
Hindustan, sedangkan
ahli sejarah yang lain mengatakan bahwa letaknya Cheermen adalah di Indonesia.

Adapun mengenai nama kedua orang tuanya, kapan beliau dilahirkan
serta dimana, dalam hal
ini belum diketahui
dengan pasti. Ada yang mengatakan bahwa beliau berasal dari
Kasyan (Persia).

Bilamana beliau
meninggal dunia ? Kalau ditilik dari batu nisan
yang terdapat pada makam Maulana Malik
Ibrahim di Gresik, dekat Surabaya terukir sebagai tahun meninggalnya 882 H,atau tahun 1419 M.